Gorontalo

Mapala di Persimpangan Zaman: Dari Romantisme Petualangan Menuju Kesadaran Ekologis

×

Mapala di Persimpangan Zaman: Dari Romantisme Petualangan Menuju Kesadaran Ekologis

Sebarkan artikel ini
Foto Ilustrasi.

Oleh: Rahmat Djaba / Dinosaurus

 

Republish.id, GORONTALO – Gerakan Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) selama ini dikenal bukan hanya karena keberaniannya menaklukkan alam, tetapi juga karena perannya sebagai suara moral dalam isu lingkungan dan kemanusiaan.

Namun kini, di tengah dinamika sosial dan budaya modern, gerakan ini menghadapi tantangan serius: kehilangan arah antara idealisme ekologis dan tuntutan akademik.

Sejak kelahirannya pada dekade 1970-an, Mapala tumbuh sebagai subkultur penting di dunia kampus Indonesia. Dalam sejarahnya, organisasi ini kerap menjadi motor penggerak aksi lingkungan serta advokasi terhadap ketidakadilan ekologis (Suharyono, 2018). Tetapi dalam dua dekade terakhir, orientasi gerakan mulai bergeser.

Aktivitas Mapala kini lebih sering diarahkan untuk memenuhi kewajiban akademik, sementara kegiatan penjelajahan alam cenderung bersifat teknis dan rekreatif — kehilangan makna ideologis dan sosial yang dahulu menjadi ruhnya.

Fenomena ini menempatkan mahasiswa pecinta alam di titik persimpangan antara tuntutan studi dan tanggung jawab ekologis yang semakin terabaikan.

Pergeseran Nilai dan Orientasi

Baca Juga :  Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Gorontalo Demo di Depan Rektorat, Minta WR III Dicopot

Dalam konteks modern, aktivitas alam kian terjebak dalam komodifikasi budaya populer. Pendakian gunung, ekspedisi, atau penjelajahan alam bebas lebih sering dipamerkan di media sosial sebagai pencapaian pribadi (Heryanto, 2020).

Dampaknya, nilai-nilai luhur seperti solidaritas, kesederhanaan, dan kepedulian terhadap alam kian memudar. Secara sosiologis, perubahan ini menggambarkan proses individualisasi gerakan mahasiswa, di mana kepedulian kolektif tergantikan oleh orientasi personal (Bauman, 2001).

Kondisi tersebut menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah mahasiswa pecinta alam masih memegang teguh prinsip “Cinta Alam dan Kasih Sayang Sesama Manusia,” atau telah terjebak dalam euforia petualangan tanpa refleksi?

Peran dan Tanggung Jawab Moral

Mahasiswa pecinta alam sejatinya memegang tiga peran penting: agent of change, social control, dan iron stock. Sebagai penggerak perubahan, mereka dituntut untuk peka terhadap isu sosial dan lingkungan.

Sebagai pengontrol sosial, mereka harus berani mengkritisi kebijakan yang tidak selaras dengan prinsip pembangunan berkelanjutan. Sebagai calon pemimpin masa depan, mereka dituntut memiliki karakter tangguh, berakhlak, serta berwawasan luas.

Baca Juga :  Brimob Polda Gorontalo Sigap Evakuasi Warga Terjebak Banjir di Desa Tolotio

Tantangan ekologis global kini semakin nyata. Indonesia — negara dengan keanekaragaman hayati terbesar kedua di dunia — tengah menghadapi ancaman deforestasi, pencemaran, dan eksploitasi alam yang tidak berkelanjutan (WALHI, 2022).

Dalam situasi ini, mahasiswa pecinta alam seharusnya tampil sebagai agen perubahan ekologis yang tidak hanya menikmati alam, tetapi juga memperjuangkan keberlanjutannya.

Melalui pendekatan interdisipliner yang memadukan ilmu lingkungan, sosial, dan kebijakan publik, Mapala dapat memperluas kiprahnya sebagai aktor strategis dalam pendidikan dan advokasi lingkungan.

“Hal ini sejalan dengan semangat Tri Dharma Perguruan Tinggi, terutama dalam pengabdian masyarakat dan penelitian (Kemenristekdikti, 2017).”

Reorientasi dan Refleksi Gerakan

Persimpangan yang dihadapi Mapala bukanlah kemunduran, melainkan momentum refleksi. Sudah saatnya organisasi ini mengembalikan makna “Cinta Alam” sebagai kesadaran ekologis yang holistik — bukan sekadar romantisme pendakian atau pencarian jati diri.

Kegiatan ekspedisi seharusnya menjadi ruang riset lapangan, pendidikan lingkungan, atau advokasi berbasis komunitas. Kolaborasi lintas disiplin dan komunitas menjadi langkah strategis agar gerakan ini tetap relevan dengan perkembangan zaman tanpa kehilangan idealismenya.

Baca Juga :  Korban Kedua Ditemukan di Danau Limboto, Operasi SAR Resmi Dihentikan

Menatap Masa Depan Mapala

Mahasiswa pecinta alam kini berdiri di antara tiga arus besar: tuntutan akademik, romantisme petualangan, dan tanggung jawab sosial-ekologis. Arah yang mereka pilih akan menentukan masa depan dan relevansi gerakan ini.

Reorientasi nilai, peningkatan literasi ekologis, serta partisipasi aktif dalam isu-isu lingkungan menjadi langkah penting agar semangat “Cinta Alam dan Kasih Sayang Sesama Manusia” tak sekadar slogan, melainkan menjadi etos hidup dan kesadaran moral.

Pendidikan dasar (Diksar) pun semestinya berfungsi sebagai Pendidikan Lingkungan Hidup, yang menumbuhkan kesadaran, komitmen, serta keterampilan kolektif demi keseimbangan ekologi dan keadilan lingkungan.

Dengan semangat itu, mahasiswa pecinta alam diharapkan tidak hanya menjadi penjelajah gunung, tetapi juga penjaga bumi — pemimpin masa depan yang lahir dari alam dan berjuang untuk kelestariannya.(*)

**Cek berita dan artikel terbaru kami dengan mengikuti WhatsApp Channel